Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.
Lompatan Semantik dan Fonologis dari “Bajing” ke “Bajingan”.
Sabtu, 2 Agustus 2025 10:11 WIB
Dalam kacamata hermeneutik, kata “bajingan” merupakan hasil dari lompatan semantik yang kompleks dan bersifat historis-kultural dari kata dasar
Dalam kacamata hermeneutik, kata “bajingan” merupakan hasil dari lompatan semantik yang kompleks dan bersifat historis-kultural dari kata dasar “bajing”, yakni nama binatang kecil sejenis tupai yang lincah dan hidup di pepohonan. Secara fonologis, pergeseran dari “bajing” menjadi “bajingan” tidak hanya melibatkan penambahan afiks “-an”, tetapi juga menciptakan segmentasi makna baru yang menyimpang jauh dari asal zoologisnya. Dalam struktur bahasa Jawa, imbuhan “-an” sering kali tidak hanya menandai pelaku, tetapi juga memiliki beban sosial atau kultural yang mengandung nilai-nilai perendahan atau stigma.
“Bajingan” pada masa lalu justru merupakan sebutan bagi kusir pedati atau pengemudi gerobak sapi — sebuah profesi kelas bawah dalam stratifikasi sosial Jawa tradisional. Namun seiring waktu, citra bajingan sebagai pelaku yang mengendali kendaraan dan kerap dianggap kasar atau liar di jalan, menyumbang pada degradasi semantiknya hingga kini menjadi kata makian dalam bahasa Indonesia. Ini menandakan bahwa lompatan semantik dari “bajing” ke “bajingan” tidak sekadar proses morfologis, melainkan hasil dari konstruksi sosial terhadap profesi, kelas sosial, dan simbolisme perilaku manusia yang diasosiasikan dengan hewan. Tradisi Jawa yang sangat hierarkis memungkinkan makna-makna ini mengeras dalam ruang budaya dan bahasa.
Dengan demikian, transformasi ini mencerminkan bukan hanya gradasi fonemik dari /ŋ/ ke /ŋan/, tetapi juga perubahan ideologis yang menyematkan identitas sosial ke dalam struktur kata, menjadikannya simbol ketidakteraturan, pelanggaran norma, atau subversi terhadap tatanan. Maka, hermeneutika "bajingan" adalah penafsiran ulang atas suara, makna, dan sejarah sosial yang membungkusnya — suara kecil dari "bajing" yang dikekalkan dalam ingatan kolektif sebagai lambang kekacauan melalui *bajingan*.
Hermeneutika Leksikal dalam Tafsir Fonem, Tradisi, dan Budaya Jawa
Transformasi makna dari kata “bajing” menjadi “bajingan” mencerminkan lebih dari sekadar proses linguistik. Ia adalah cerminan dinamika sosial dan simbolisme budaya dalam masyarakat Jawa dan Indonesia secara umum. Esai ini berupaya menelusuri pergeseran semantik dan fonologis dari kata tersebut dengan menggunakan pendekatan hermeneutika leksikal dan analisis fonemik, sembari membongkar struktur ideologis yang membentuk perubahan nilai dalam masyarakat terhadap kata dan maknanya.
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga medium ideologis dan historis yang mencerminkan cara suatu masyarakat membentuk dan memaknai realitasnya. Dalam hal ini, fenomena pergeseran makna kata—terutama yang mengandung beban nilai seperti kata “bajingan”—menjadi pintu masuk penting dalam memahami struktur budaya dan sejarah sosial. Kata “bajingan”, yang kini digunakan sebagai makian, memiliki akar yang tidak sepenuhnya pejoratif, yakni “bajing”—sejenis tupai kecil yang dikenal lincah dan cerdik. Dari sinilah muncul pertanyaan utama: bagaimana mungkin seekor binatang netral menjadi dasar bagi sebuah makian yang sarat makna sosial ?
Memahami Tafsir Historis Makna
Dalam tradisi hermeneutika, khususnya yang dipengaruhi oleh Hans-Georg Gadamer, makna tidak statis, tetapi bertransformasi seiring konteks historis dan horizon pemahaman masyarakat. Kata “bajingan” tidak dapat dibaca hanya melalui struktur morfologisnya, tetapi juga sebagai hasil dari tafsir sosial terhadap profesi, perilaku, dan kelas sosial.
Dalam masyarakat Jawa abad ke-19 hingga awal abad ke-20, "bajingan" adalah sebutan bagi pengemudi pedati atau gerobak sapi. Mereka bukan penjahat, melainkan pelaku ekonomi marjinal yang melintasi desa dan kota membawa hasil bumi. Namun dalam struktur budaya yang sangat hierarkis, profesi ini dipandang rendah. Dalam waktu yang bersamaan, “bajingan” juga sering diasosiasikan dengan kebebasan liar, bahasa kasar, dan perilaku yang tak terikat norma pusat kekuasaan. Dari sini makna mulai meluruh menjadi simbol kekacauan sosial dan pelanggaran etika.
Analisis Fonologis: Gradasi Fonem dan Pergeseran Makna
Secara fonologis, lompatan dari /bajing/ menjadi /bajingan/ melibatkan penambahan sufiks "-an" yang dalam bahasa Indonesia (dan Jawa) dapat menunjukkan pelaku (agent noun), hasil, atau tempat. Namun, dalam kata ini, “bajingan” mengalami "resemantisasi" —proses ketika struktur fonemik lama memunculkan makna baru akibat tekanan sosial.
Dari sisi bunyi, /bajing/ \[ˈbad͡ʒiŋ] → /bajingan/ \[ˈbad͡ʒiŋan] menunjukkan peningkatan beban artikulatif dan segmentasi morfemik. Bunyi nasal velar /ŋ/ di "bajing" diikuti oleh konsonan nasal alveolar /n/ dalam *bajingan* menciptakan kontras ritmis dan penekanan. Ini sering terjadi dalam bahasa ketika makna berubah menjadi lebih ekspresif atau lebih berat secara afektif (lihat Kridalaksana, 2008).
Tradisi dan Kebudayaan: Simbolisme Sosial Kata
Dalam sistem budaya Jawa, posisi sosial sangat mempengaruhi cara bahasa digunakan. Sebutan-sebutan yang berkaitan dengan status rendah atau perilaku menyimpang akan lebih cepat mengalami penurunan makna atau "pejorasi". Transformasi kata “bajingan” tidak hanya menunjukkan perubahan dalam kamus, tetapi juga dalam cara masyarakat memandang pekerjaan dan kelompok sosial tertentu.
Dalam banyak cerita rakyat atau lakon wayang, "bajingan" bisa menjadi representasi dari kekuatan subversif—yang melawan kekuasaan pusat atau menciptakan kekacauan dalam tatanan desa. Ini juga terlihat dalam kebudayaan populer: kata “bajingan” digunakan dalam novel, lagu dangdut, hingga meme sebagai ekspresi perlawanan terhadap keadilan atau pengkhianatan moral.
Dari perspektif hermeneutika, perubahan makna dari “bajing” ke “bajingan” tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial, simbolisme budaya, dan tekanan ideologis yang hidup dalam bahasa. Ia adalah representasi dari bagaimana fonem, makna, dan status sosial saling mengonstruksi. Kajian ini tidak hanya menunjukkan pentingnya memahami sejarah kata, tetapi juga membuka ruang untuk refleksi kritis terhadap cara masyarakat membentuk stigma melalui bahasa.
Referensi.
1. Kridalaksana, Harimurti. "Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia". Jakarta: Gramedia, 2008.
2. Geertz, Clifford. "The Religion of Java". University of Chicago Press, 1960.
3. Gadamer, Hans-Georg. "Truth and Method". New York: Continuum, 2004.
4. Djawanai, Stephanus. "Makna dalam Struktur: Studi Semantik Bahasa Jawa". Yogyakarta: Kanisius, 2000.
5. Robson, S.O. & Wibisono, Singgih. "Javanese-English Dictionary". Periplus, 2002.
6. Echols, John M. & Shadily, Hassan. "Kamus Indonesia-Inggris". Jakarta: Gramedia, 1992.
2.
1. Kridalaksana, Harimurti. (2008). "Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia". Jakarta: Gramedia.
2. Robson, S. O., & Wibisono, Singgih. (2002). "Javanese-English Dictionary". Periplus.
3. Geertz, Clifford. (1960). "The Religion of Java". University of Chicago Press.
4. Echols, J. M., & Shadily, H. (1992). "An Indonesian-English Dictionary". Jakarta: Gramedia.
5. Djawanai, Stephanus. (2000). "Makna dalam Struktur: Studi Semantik Bahasa Jawa". Yogyakarta: Kanisius.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Parau
Senin, 1 September 2025 14:51 WIB
Mahmudat Ikhwanat Dipanggil Hamidah, Sebuah Anekdot Linguistik
Senin, 1 September 2025 14:50 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler